[Lanjutan : Sebuah Tas Kecil Berwarna Hitam Bagian 1]

* * *

DUA TAHUN KEMUDIAN.

"Kal, kamu lihat berita TPI pagi tadi?" seru Leinad dari balik pintu kamar.

"Kenapa memang?" aku sedang mengepak ransel gunungku.

"Lho, mau kemana kamu?"

"Pangrango!"

"Sudah, bongkar lagi, Kal. Kamu nggak bakal naik!"

Aku tak mengindahkan.

"Kal, hoi...!"

"Apaan sih...?" aku tetap mengepak.

"Laras, Kal, Laras!"

Aku sontak menghentikan pekerjaanku, "Laras?" bergetar juga aku mendengar nama itu disebut. "Ada apa dengan Laras?"

"Pagi tadi di TPI, ditemukan puing helikopter yang hilang dua tahun lalu. Pagi ini sedang diselidiki. Diduga helikopter yang digunakan mahasiswa IKJ saat bikin film dulu, karena pemburu yang menemukan melihat banyak alat kamera berserakan. Kalau memungkinkan, sore ini langsung evakuasi."

"Betulkah yang kudengar ini, Nad?!" aku mencekal bahunya.

Leinad hanya mengangkat bahu. Kutinggalkan ransel gunungku dan berlari ke ruang tamu. Mencari Kompas pagi yang belum sempat kubaca. Maka benar saja: Puing Helikoper Yang Ditumpangi Mahasiswa IKJ Ditemukan.

Meski sulit dikenali karena terlalu rusak, aparat keamanan di Medan, Sumatera Utara, tetap merencanakan mengevakuasi reruntuhan pesawat helikopter yang ditemukan di sela-sela hutan lebat Lau Ucim di kaki Gunung Sibayak, Kabupaten Karo (123 km selatan Medan).

Astaga! Menurut penduduk Desa Semangatgunung, Kecamatan Simpangempat, Kabupaten Karo; Ponden, Sembiring, Surbakti, dan Ramon -pemburu yang menemukan reruntuhan pesawat, terdapat empat kerangka manusia yang masih utuh tak pindah tempat dari duduknya. Diperkirakan langsung meninggal saat heli jatuh. Meski bentuk reruntuhan sulit dikenali karena terlalu rusak, namun diperkirakan tak lain pesawat helikopter. Ini terlihat dari bagian baling-baling yang tergolek di atas tanah.

Catatan menunjukkan, dua tahun lalu memang terdapat laporan menyangkut hilangnya sebuah pesawat heli guna melakukan pemotretan dari udara terhadap wilayah Kabupaten Karo, Dairi, dan Simalungun. Pemotretan berlangsung beberapa hari dan dilaporkan hilang pada hari terakhir tugas tersebut.

Selain KTP dan Kartu Pers milik Birhi, di dekat reruntuhan pesawat juga ditemukan KTP atas nama Laras Saraswati (No. 109269292) dikeluarkan Pemda Kotamadya Bandung (Jabar), kemudian atas nama ...Irs... (No. 4263-349) juga dikeluarkan Pemda Kotamadya Bandung (Jabar), dan satu KTP lainnya (No. 0441-639) keluaran Pemda Tingkat II Bekasi (Jabar). KTP yang terakhir tidak diketahui nama pemiliknya, karena tulisan pada kolom nama nampak sudah kabur.

Meski kendala lokasi berupa jalan yang hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki namun sejumlah anggota Batalyon Infanteri 125 Kabanjahe bersama anggota Kodim 0205 Tanahkaro diterjunkan ke lokasi guna evakuasi.

Koran pagi itu masih dalam genggamanku.

"Empat? Empat kerangka? Bagaimana mungkin empat?" aku tak mengerti.

Segera saja aku telpon keluarga Laras. Mengabari atas berita yang baru kudengar.

"Masyaallah, betulkah, Haikal?!"

"Iya Bu. Segera akan saya kontak IKJ."

"Baiklah, Ibu akan menelpon Bapak di kantor!"

Nasib ranselku sudah tak berriwayat lagi.

"Gimana, Kal?" Leinad menyusul ke ruang tamu.

"Kita ke Jakarta, Nad!"

KAMPUS YANG terletak di belakang Taman Ismail Marzuki ini masih saja rindang untuk dikunjungi. Leinad masih sibuk mencari uang kecil untuk membayar bajaj. Banyak kenangan yang sempat tertumpahkan di kampus ini. Tentu saja bersama gadisku, Laras. Namanya begitu dikenang dan dijadikan simbol tersendiri terhadap perjuangan mahasiswa film yang telah senior maupun baru masuk.

Biasanya aku tak begitu mampu untuk kembali lagi ke sini. Itu hanya akan membuat hatiku sesak dan gulana. Aku mencari beberapa mahasiswa film yang sudah lebih dulu mengetahui perihal diketemukannya helikopter Laras. Mereka tampak sibuk dan posko pencarian yang dua tahun lalu sempat dibentuk segera didirikan kembali. Di ujung koridor aku melihat Mas G. sedang berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswa. Aku menghampirinya.

"Saya dari kelurga Laras, Mas," ucapku. "Orang tua Laras sudah saya beritahu dan segera akan ke Jakarta hari ini juga."

"Oya? Terima kasih kalau begitu," ia membalas jabatan tanganku. "Jadi tinggal keluarga Awan saja yang sedang dikontak."

"Ada perkembangan terakhir, Mas?"

"Positif. Heli itu memang yang dinaiki Laras dan Awan. Keluarga Pak Birhi juga sudah kita hubungi. Hari ini langsung evakuasi." terang Mas G.

"Bayangkan," lanjut Mas G. "Meski telah dua tahun, dompet-dompet mereka masih begitu utuhnya. Jadi dengan mudah dapat dikenali identitas mereka sebagai mahasiswa IKJ!" ujar sutradara film Cinta Dalam Sepotong Roti ini.

"Bukankah daerah itu telah disisir tim SAR saat pencarian dulu?" tanya Isa, mahasiswa TV.

"Yah... rahasia alam, Sa. Siapa yang dapat tau!" jawab Komeng, mahasiswa jurusan editing.

"Aku sulit membayangkan. Bagaimana mungkin kerangka Awan ada di balik tubuh heli. Apa itu berarti ia tertimpa helikopter?" terka Ikhsan, mahasiswa jurusan tata suara yang jadi satu-satunya kawan Laras yang lolos dari maut itu.

Sontak aku memisahkan diri dari obrolan itu. Leinad tampak ikut berembuk dalam pembentukan sebuah tim penjemputan. Tanpa sadar air mataku mulai menghujani pipiku. Ya, aku menangis!

Maka diputuskan mengirimkan beberapa orang IKJ dalam tim penjemputan.

"Kamu tau berapa tiket pesawat ke Medan, Nad?"

Leinad mengangkat bahu. "Kamu terbang?"

"ATM-ku hanya berisi sejuta."

"Tenang, Kal!" ia memeluk bahuku.

KELUARGA DEMI keluarga sudah berdatangan. Baik dari keluarga Awan di Klaten, Jawa Tengah, maupun keluarga Laras. Hanya Bapak Laras yang tampak datang dari Bandung. Aku menyambut genggaman tangannya. Beliau memelukku.

Tapi tiba-tiba datang kabar begitu mengejutkannya: pihak TNI Angkatan Darat Medan ternyata tidak mengakui adanya mahasiswa IKJ dalam helikopter tentara yang baru saja berhasil dievakuasi. Mereka tidak mau mengambil resiko jika tersiar kabar di media massa bahwa helikoter tentara yang merupakan inventaris negara dipinjamkan pada orang sipil. Apalagi untuk kepentingan komersil seperti ini.

Puah! Aku menyumpah-nyumpah. Kawan-kawan IKJ sudah saling melontarkan kata umpatan. Kejadian dua tahun lalu memang sungguh menjengkelkan, kalau tak bisa dikatakan menyebalkan. Perusahaan film yang menurunkan Pak Birhi, Awan, dan Laras dalam penerbangan tersebut memang lebih memilih heli Angkatan Darat yang murah dengan tujuh ratuh lima puluh ribu perak per-jam, dibanding helikopter komersil yang sejuta lima ratus ribu per-jam. Hanya karena bisikan oknum yang gemar mengobyek alat negara dan pertimbangan harga murah, mereka merencanakan terbang selama dua jam. Puah!

Semua bingung, belum lagi tau apa yang musti segera dilakukan. Sudah jelas wartawan RCTI menangkap gambar evakuasi siang tadi di Buletin Siang. Semprul! batinku. Bukankah identitas mahasiswa IKJ sudah dengan jelas diketahui dan disiarkan. Lantas mau apalagi? Tapi, sebentar, pantas saja, aku teringat kejadian dua tahun lalu. Ketika itu Ikhsan, kawan Laras, bukankah sempat memotret Awan dan Laras sebelum heli take off. Terpampang jelas jenis dan nomor heli yang mereka gunakan. Pantas saja seorang petugas sempat mengikuti Ikhsan dan meminta negatif dari film itu. Ini jelas-jelas sebuah permainan. Mereka tak mau menanggung resiko. Berarti ada oknum yang bermain di balik semua ini.

"Hei... bukankah Ikhsan masih punya positif foto heli sebelum take off. Repro saja, jadikan bukti!" aku tiba-tiba mengusulkan.

"Betul juga! Ya, aku masih simpan." ujar Ikhsan.

"Tapi mereka militer, Kal, bisa saja mengelak." seru Yudi, mahasiswa jurusan sutradara, menengahi.

"Kita sebar ke setiap media!" aku tak mau menyerah.

"Mereka bisa main keras, Kal!" kali ini Frans, mahasiswa jurusan fotografi film.

"Ok. Kalau begitu biar saya usahakan lewat HANKAM Jakarta saja." suaranya nampak bergetar penuh geram. Ternyata Mas Oki, kakak Awan dari Klaten. "Saya kenal orang dalam!" ujarnya tegas sembari memijit tombol HP.

Kami semua tak mengira akan keputusan ini. Maka diputuskanlah Bapak Laras, Mas Oki, dan beberapa orang dari HANKAM yang terbang ke Medan. Sementara kami diminta stand by di Jakarta untuk menunggu perkembangan yang tiada mudah diperkirakan.

"Kamu musti makan, Kal!" Leinad mengingatkanku.

"Kamu saja duluan!"

SIAPA YANG bakal mengira jika prosesnya begitu menggila. Lima hari kami terkatung-katung dengan tanpa keputusan yang tiada jelas. Orang-orang Mas Oki memang telah bertemu dengan pihak Angkatan Darat Bukit Barisan. Tetapi mereka tetap tiada mau begitu saja menyerah atas kenyataan yang sebenar. Mereka memang mengkui bahwa helikopter yang diketemukan di Gunung Sibayak, adalah milik Angkatan Darat. Namun tak berisi mahasiswa IKJ seperti yang tersiarkan media massa. Fasis memang luar biasa haibatnya! Pantas saja, ketika pencarian dua tahun lalu, tim tentara tidak mau bergabung dengan tim SAR dan pecinta alam mahasiswa. Mereka bersikukuh helinya yang hilang jatuh di sekitar lokasi rutin latihan mereka. Dan kini, haibat benar, saat kami pihak keluarga belum lagi mendapat kepastian apakah kami dapat membawa pulang kerangka-kerangka tersebut, pilot serta co-pilot mereka justru telah diterbangkan dan dimakamkan pada keluarga masing-masing di Jawa. Haibat benar!

Tawar menawar pun terjadi. Akhirnya terbukalah semua. Kerangka-kerangka tersebut memang disimpan oleh pihak Angkatan Darat. Mereka dapat saja menyerahkan kerangka tersebut pada keluarga masing-masing, namun dengan beberapa syarat yang musti dipenuhi: tidak ada pers, tidak ada penyambutan di bandara, tidak ada upacara di kampus, dan musti langsung dibawa ke rumah keluarga korban. Bapak Laras sempat berang: adalah hak kami untuk memperlakukan apa yang hendak kami perbuat pada kerangka tersebut. Tapi melalui pembicaraan yang alot, akhirnya, demi kepulangan keluarga juga, mereka menyanggupi syarat-syarat tersebut.

"Satu lagi," ujar Perwira Angkatan Darat itu. "Kerangka tidak dibawa dengan enggunakan peti!"

Bapak Laras dan Mas Oki tampak tidak mengerti. "Lantas?!"

"Dibungkus, dan dimasukkan ke dalam tas. Tidak menggunakan cargo, tapi ikut ke dalam kabin penumpang!"

Gila! Begitukah perlakuan manusia terhadap manusia? Luar biasa fasis ini.

Syarat terakhir sempat mentah-mentah ditolak. Karena bagaimanapun: kerangka tersebut tetaplah manusia yang musti dihormati atas hakekatnya. Tapi itu pilihan terakhir yang mereka tawarkan. Sekali lagi, luar biasa untuk fasis ini!

Begitulah. Pesawat melesat dari Polonia Medan dan mendarat di Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Kerangka Pak Birhi, mantan wartawan TEMPO yang kini sutradara itu, rencananya akan dimakamkan keluarganya di Medan. Jadi tak musti dibawa ke Jawa. Kerangka Awan langsung berganti pesawat menuju Yogyakarta terus ke Klaten, Jawa Tengah. Sementara Laras musti berpindah mobil karena tiada jam terdekat bagi pemberangkatan terbang ke Bandung. Aku telah memesan sebuah ambulan untuk membawa Laras ke Bandung. Kawan-kawan IKJ tampak menggerombol di pintu masuk, di cargo, tapi tak menemukan apa-apa. Dari kejauhan terlihat Bapak Laras ditemani seorang pria berambut cepak menenteng sebuah tas kecil berwarna hitam sebesar tas raket pebulutangkis. Kawan-kawan IKJ menyambutnya.

"Mana Laras?" tanya mereka.

Si rambut cepak tak segera menjawab.

"Mana Laras, Pak?" kali ini pada Bapak Laras.

Bapak Laras tak menjawab. Hanya matanya melirik pada tas hitam yang ditenteng si rambut cepak.

Semua mengikuti arah lirikan Bapak Laras, lantas sontak terkesiap dan bukan alang kepalang kagetnya. Laras, di dalam tas sekecil itu? Tulang-belulangmu? Dalam tas sekecil itu? Tetesan air mata sudah tak terbendung lagi. Laras... begitu cara mereka memperlakukan manusia? Begitu cara manusia menghormati sesama manusia? Sungguh tak kuat aku menuliskan cerita ini.

Iring-iringan mahasiswa IKJ beranjak menuntun tas kecil berwarna hitam itu. Sebuah mobil ambulan telah siap menunggu untuk melesat ke Bandung. Aku tak berani mendekat. Jarakku tak lebihlah dua puluh meter dari kerumunan.

Leinad datang menghampiri. "Kal, Larasmu, Kal. Larasmu sudah kembali!" ia memelukku.

Aku membalas pelukannya. Air mataku tumpah sudah.

JARAK JAKARTA - Bandung hanya ditempuh dalam beberapa jam saja melalui puncak. Aku duduk di sebelah tas laras di dalam ambulan. Kadang memeluknya sambil tak henti-hentinya menyeka tetesan air mata yang terasa tak pernah kering ini.

Bapak Laras duduk di depan. Di belakang ada aku, Leinad, serta dua kawan Laras di IKJ: Barli dan Humam, pacar Paquita Wijaya. Di belakang mobil ambulan beriring-iringan mobil mahasiswa IKJ dan beberapa saudara Laras yang tinggal di Jakarta, mengikuti sirine yang meraung-raung.

Hingga sampailah di kediaman Laras. Sirine ambulan masih meraung-raung. Beberapa orang telah siap dengan posisi tangan seolah hendak mengangkat peti mati. Namun ketika pintu belakang ambulan terbuka, mereka terkesiap karena tak menemukan peti mati yang mereka bayangkan.

"Mana petinya?!" tanya mereka.

Tak lama aku turun, membopong sebuah tas kecil berwarna hitam: berisi tengkorak Laras. Masuk ke dalam ruang tamu, tempat dimana dulu sering kukencani dia. Sebuah meja ukuran panjang telah dipersiapkan. Aku Letakkan tas kecil berwarna hitam itu di atasnya. Ibu Laras yang melihat anak gadisnya hanya tinggal berhasta-hasta tulang di dalam tas sekecil itu, bukan kepalang histerisnya. Suasana begitu pilu. Mencekam. Mengaharukan dan menyayat hati. Aku tak kuasa meneruskan cerita ini.

MAKA BEGITULAH. Tulang belulang Laras dimasukan ke dalam peti. Dibawa ke masjid dan ditanam dalam tanah dalam-dalam untuk tak dapat dilihat kembali selama-lamanya. Ratusan pelayat telah meninggalkan tanah-tanah pekuburan. Bunga-bunga telah diterbarkan begitu wanginya. Aku masih bersimpuh luruh tafakur di sebelah nisannya. Meraba-raba papan bertuliskan nama gadisku, Laras Saraswati. Tak seperti makam umumnya, yang tertera pada nisan Laras justru: Lahir; Wafat; dan, Dimakamkan. Karena ketiganya bertuliskan waktu yang berbeda.

Laras hanya membawa pulang dompet kulit berisi robekan lembar uang yang sudah lapuk, dua buah SIM dan KTP yang tampak kotor, cashcard yang telah pecah, kartu mahasiswa yang usang, dan fotoku yang sudah tak jelas lagi warnanya.

Aku masih bersimpuh luruh tafakur di sebelah nisannya. Meraba-raba papan bertuliskan nama gadisku. Sebuah kalung tentara berpatrikan namanya kugantungkan di leherku; Laras Saraswati.

Air mataku banjir sudah.**()

[ BACK]
* * *

Bandung, Agustus 1996
Thank's to mahasiswa IKJ, especially Fakultas Film & Televisi Tim SAR serta gabungan mahasiswa pecinta alam nasional -Tiada kata tercukup untuk membalas daya persahabatan kalian- I love you all...!

This story is dedicated to DB
(Semarang, 01 Oktrober1972 - Gunung Sibayak, Sumatera Utara, 22 Agustus 1994 - Bandung, 06 April 1996)

DM.

Copyright © 1996 Daniel Mahendra. Comments and questions to: mahendras@sm.or.id