Cerita asli dari cerpen ini telah dimuat pada Majalah Suara Mahasiswa No. 1/Th. V/XI/1996, dengan judul Peristirahatan Abadi, namun kali ini dengan beberapa perubahan alur cerita, plot serta nama-nama tokoh. Hak cipta sepenuhnya dimiliki pengarang.

Sebuah Tas Kecil Berwarna Hitam

Oleh Daniel Mahendra

Sekali berarti, sudah itu mati
        Chairil Anwar

Tubuhnya hancur berkeping-keping. Sudah tiada jelas lagi mana bagian depan atau belakang. Sudah menyatu dengan bumi. Hanya ada baling-baling panjang tergolek di tanah yang mungkin jadi satu-satunya tanda.

Pilot dan co-pilotku sudah tak bernyawa. Posisi duduknya sudah tak beraturan. berhamburan kaca. Wajahnya hancur berantakan. Sutradaraku tertelungkup di lantai dasar. Dua tangan dan kakinya patah. Kemudian Awan? Ya, temanku. Di mana dia? Ya, Tuhan! Aku tak berani mengatakannya. Tak tega rasanya menuliskannya di sini.

Sementara aku? Aku masih tergeletak di kursi belakang. Hanya tinggal celana gunung hitam, kaus putih, dan topi rimba yang membungkus tubuhku. Nikon-ku masih menggantung di leher. Tas pinggangku masih melilit. Yang kuingat ada beberapa catatan script, dompet kulit berisi beberapa lembar uang, dua buah SIM, KTP, cashcard, kartu mahasiswa, dan foto Haikal. Ada sebuah radio panggil dan kalung tentara berpatrikan namaku.

Hutan ini masih perawan, gelap, sepi, dingin dan di dasar lembah kaki gunung Sibayak (Gunung Sibayak; 2.100 m, ± 60 km barat daya Medan, Sumatra Utara).

"AKU PULANG hari Kamis, Ma. Semua syuting darat sudah selesai. Senin besok tinggal pengambilan gambar dari atas. Kita terbang hanya dua jam, kok. Selasa balik ke Jakarta. Ya, paling tidak Kamis-lah pulang ke Bandung." aku dalam bilik telpon di sebuah wartel di kota Medan.

"Hati-hati, Laras. Mama hanya bisa mendo'akan!"

"Ya. Do'akan Laras, Ma. Sebelum pulang Laras telpon lagi. Salam buat Hendra sama Pradnya, ya!"

Sayang, kakak dan adikku sedang tiada di rumah. Andai aku sempat berbicara dengan mereka. Tetapi setidaknya aku sudah berpamitan. Aku hanya sempat mengirimi kakakku kartu ulang tahun. Dia pasti terheran-heran menerimanya. Kartu ulang taun? Ya, tak apalah! Hanya sebuah kartu, Hen.

SENIN PAGI jam sepuluh waktu Indonesia bagian barat. Cuaca tak begitu cerah namun juga tiada mendung. Ada beberapa hal penting dalam breifing sebelum terbang. Juga tentang daerah-daerah rawan yang nanti musti dilewati. Belum lagi Ikhsan, temanku yang ngotot ingin ikut terbang saat pengambilan gambar. Padahal tata suara tidak begitu dibutuhkan di atas nanti.

"Ya sudah, pada bergaya sana. Biar aku potret semua!" akhirnya Ikhsan mengalah.

"Ambil semuanya, San, biar helikopternya nampak. Kapan lagi kita bisa naik heli seperti ini." Awan berdiri di sampingku.

Ikhsan menjepret-jepretkan kameranya. Klak! Klik!

"Biar bisa dijadikan bukti ya, kalau kalian bener-bener pernah naik heli. Aku jadikan foto terakhir sebelum terbang nih!"

Foto terakhir? Aku dan Awan sontak berpandangan. Masih terngiang-ngiang dua kata Ikhsan barusan: foto terakhir?

Jadi isi heli terdiri dari Pak Birhi, mantan wartawan TEMPO yang kini menjadi sutradara, lantas Awan dan aku sebagai kameramen, serta dua orang berpakaian loreng yang duduk di cockpit.

Aku, Awan, dan Ikhsan sama-sama kuliah di IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Selain kuliah, kami biasa nge-job sana-sini. Entah bantu-bantu bikin iklan, sinetron atau video klip artis-artis. Dari situ aku bisa kenal orang-orang yang mati hidup di dunia film. Selain uang (tentu saja), aku jadi banyak belajar. Hingga kami bertiga dapat order untuk mengerjakan sebuah film dokumenter di daerah Sumatra Utara. Lewat sebuah rumah produksi kami berangkat dengan sebuah tim dari Jakarta.

"Hoi… kamu jangan muram gitu, Laras!" Ikhsan berteriak melawan deru mesin heli.

Lagi-lagi aku dan Awan saling berpandangan.

Dan heli pun terbang mengangkasa!

GERAK HELIKOPTER betul-betul sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Kami terguncang-guncang di ketinggian… ah! manalagi sempat memikirkan di ketinggian berapa kami sekarang berada. Setelah berputar-putar hilang arah, hubungan radio dengan bandara Polonia Medan betul-betul terputus. Sudah banyak hutan lebat kami lewati. Sudah beberapa desa pedalaman kami seberangi.

Suara Heli menderu-deru. -

"Apa tidak lebih baik mendarat dulu, Pak?" teriak Pak Birhi pada Pilot.

"Kita cari daratan yang memungkinkan!" teriak pilot menyaingi suara heli.

Helikopter terbang tersendat-sendat. Kami sedang mengitari sebuah lembah. Sejauh mata bertubrukan selalu warna hijau yang bertaburan.

Ya Tuhan! Sasaat terbayang wajah Mama, kemudian Bapak, Hendra kakakku, dan Pasya adikku. Lalu… lalu… Haikal… Haikal… Apa kamu pun mau mengucapkan salam terakhir, Kal? Ah! Jangan dulu tinggalkan aku, Kal!

Jangan dulu!

Mesin heli tiba-tiba mati. Sistem kendali sudah tiada apa-apanya lagi. Tubuh heli meluncur deras ke bawah. Berputar-putar. Terbolak-balik. Tanpa aturan. Tidak berperasaan.

Yang kuingat tepat pada saat heli akan memasuki rerimbunan hutan, Awan temanku tiba-tiba meloncat keluar. Aku yang berada di sebelahnya hanya bisa terpekik tanpa bisa mencegah dan menyadari apa yang sedang terjadi.

Heli menghujam dahsyat ke muka bumi, mematahkan-matahkan dahan pohon, menghancurkan segala apa yang berbentuk pada heli, meluluhlantakkan semua yang ada di dalamnya.

Hancur, berserakan, dan tak berbentuk!

Aku sudah tak ingat lagi berada di mana ini. Sesaat keadaan begitu hening. Senyap. Betul-betul sunyi sama sekali. Hanya bau rumput dan amis darah yang begitu menyengat.

Ada empat tubuh yang bergelimpangan pasrah di dalamnya. Termasuk tubuhku. Tapi, empat?! Lalu Awan? Ya, di mana dia? Aku terbang kesana-kemari mencari awan sambil menangis. Awan… Awan…

Tiba-tiba,

"Awan...?!!"

Aku menjerit histeris. Suaraku menggelegar mematahkan daun-daun dalam hutan. Menyayat, pilu, dan putus asa. Tubuhnya sudah berlumuran darah, tidak berbentuk, dan kepalanya pecah. Ketika dia meloncat keluar tadi, pada saat itulah tubuh heli menerjangnya hingga ke dasar tanah.

Menimpanya! Meremukkannya!

Tinggal aku yang meronta-ronta berusaha mengangkat badan heli yang mengubur tubuh Awan. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku terbang tak tentu arah.

Sudah tak tau jenis makhluk apa aku kini.

Aku terbang, terbang, dan terbang ...

MAMA, LIHATLAH! Mamaku. Dia tergeletak begitu lemasnya di ranjang. Dia hanya menangis dan menerawang.

"Mama," hati-hati aku bicara. "Ini aku, Ma. Aku sudah datang. Ayolah Ma, berhenti menangis, Ma." aku duduk di sampingnya.

"Laras… Laras… kamu sudah pulang, Laras…?" Mamaku terisak-isak. "Laras…"

"Ya Ma, ini aku Ma. Aku sudah pulang, Ma."

"Laras…"

Ya Tuhan. Tidakkah dia mendengar suaraku? Menderita sekali Mamaku. Badannya lemas dan kurus. Apakah ini yang Mama dapat setelah melahirkan dan membesarkan aku selama duapuluh dua tahun lamanya? Apakah hanya sebuah pusara yang dapat Mama kenang nanti?

"Ma, ayolah, Ma!" ingin sekali aku menggenggam tangannya. Ma, aku hanyalah sebuah anak panah yang telah kau tembakkan dari busurmu. Bukankah itu yang pernah kau ceritakan tentang sang Kahlil Gibran, Ma? Aku sudah melesat! Sudah menuju pada sang kehidupan yang sebenarnya. Akulah anak panahmu, Ma! Bukankah kau masih lagi menyimpan sisa anak panah yang tinggal kau petik saja buahnya. Yang telah ranum dan siap kau makan dengan begitu lezatnya.

Ingatanku terlempar saat aku masih lagi berumur empat tahun. Ketika aku dan kakak laki-lakiku, Hendra, bermain di sungai bersama anak-anak kampung sekitar. Saat itu anak-anak kampung mengadakan semacam lomba keberanian menyeberangi sungai dengan cara merayapi atau bergelantungan di pipa air yang melintasi lebar sungai. Aku berteriak-teriak histeris waktu giliran Hendra ambil bagian. Bayanganku Hendra akan terpeleset dan jatuh ke dalam sungai yang dalam dan berarus deras.

Tertatih-tatih Hendra merayapi pipa air melintasi lebar sungai, namun ketika dia telah menyelesaikan perjalanannya dan sampai dengan selamat di ujung sungai, aku bersorak-sorak girang sambil melompat-lompat karena Hendra dengan tawa kemenangan melambaikan tangan ke arahku berdiri.

Padahal sepulang dari petualangan sungai itu, Mama memarahi kami. Badan kami memang kotor penuh lumpur dan bau. Tapi kami tersenyum bangga dan puas.

Sejak kecil aku memang terbiasa bergumul dengam permainan laki-laki. Barangkali karena aku begitu sering mengikuti kemana Hendra pergi. Jadinya segala permainannya aku ikuti. Dan tumbuhlah aku sebagai gadis tomboy.

Begitu banyak kenangan yang berkelebat dalam benakku.

Tiba-tiba pintu kamar Mama terbuka. Bunyi deritnya mengagetkanku. Seorang gadis memasukinya, dan duduk di sebelah Mama. Letaknya menyeberangiku. Dia mengusap rambut Mama begitu sayangnya. Seorang gadis yang mulai tumbuh dewasa, bagitu cantiknya. Dulu aku sering menggodanya kalau ada teman lelakinya yang menelpon atau dengan jantan datang ke rumah.

"Pradnya…" aku mencoba memanggilnya. "Pradnya… ini aku, Pradnya." dia tampak melihat sekeliling kamar. "Pradnya… jaga Mama, ya." dia mulai meneteskan air mata.

"Kamu jangan ikut menangis, Pradnya. Jangan lengkapi kesedihan Mama. Beri Mama senyummu, hibur Mama, Pradnya!" kali ini dia betul-betul menangis.

AKU BERADA belasan kilometer jauhnya dari kamar Mamaku. Di sebuah kamar ukuran tiga kali lima. Warna dindingnya biru gelap. Ada beberapa pigura yang dipaku secara acak. Sebuah kasur tanpa dipan di atas karpet hijau lumut, lemari kayu ukuran sedang, satu set stereo, dan sebuah meja besar penuh tumpukan buku. Di bawah payung lampu duduk duapuluh lima watt, ada potret wajahku sedang tersenyum, dia menggelayut manja di bahuku.

Haikal nama lelaki itu. Duduk memandangi potret yang diambil sekitar setahun lalu ketika aku pulang dari pembuatan iklan sebuah produk rokok terkenal di negeri ini.

Haikal nama lelaki itu. Sudah tiga tahun aku dikencaninya. Juga setelah aku memutuskan untuk melanjutkan ke sekolah seni, dia begitu antusias dan gembira. Haikal betul-betul membantuku menepiskan hari-hari sepi. Betul-betul mampu membuat hidupku penuh dengan antusias dan dinamis.

Haikal adalah pengeranku!

"Kalau itu memang sudah jadi pilihanmu, kenapa tidak, Laras?"

"Kamu mendukung aku, Kal?"

"Hei, kamu musti yakin kalau bisa maju di film."

"Nggak takut kalau dunia film lesu?"

"Untung Soekarno tidak sempat pesimis. Jika ya, entah kapan kita mendengar kata Republik Indonesia!"

Haikal nama lelaki itu. Anak kedua dari tiga bersaudara. Semester tak terhingga jurusan Jurnalistik. Tapi bukan seorang wartawan yang ingin disandangnya.

"Kalau di Jakarta aku pacaran lagi, gimana Kal?" godaku manja.

"Ya aku pacaran lagi di Bandung!" ia tertawa tak mau kalah.

"Rugi kamu. Tidak ikut terkenal sebagai suami seorang sutradara ternama."

"Hahaha… harus kamu buktikan itu!"

"Hei, nanti semua media akan mencatat namaku."

Haikal nama lelaki itu. Sudah beberapa hari terakhir dia tidak merasakan nikmatnya tidur. Dia selalu terjaga.

"Haikal…" aku memberanikan diri memanggilnya. Tenggrokanku seperti tersumbat. Ya Tuhan, aku tak tau musti berkata apa. Menyentuhnya pun aku tak bisa.

Ah! aku menangis, aku menangis.

Tetapi?! Tidak… tidak… aku masih ingin bicara dengan Haikal. Aku masih ingin berada di dekatnya. Masih ingin merasakan kehangatannya. Jangan dulu bawa aku.

Jangan dulu…!!!

TIBA-TIBA aku sudah berada di dalam sebuah lembah yang dalam, lebat, gelap, dan bau amis darah! Berdiri aku seorang diri.

Tanpa teman tanpa kawan!

Sudah sebulan tim SAR dan gabungan para pencinta alam nasional menulusuri habis hutanku. Mencari-cari di mana letak jatuhnya helikopter.

Tidak! Mereka tiada akan pernah menemukannya. Heliku sudah menjadi milik hutan ini. Sudah menjadi milik alam dan masyarakat penghuni hutan.

"Laras… Laras… ayo pulang, Laras…!" Bapakku menangis, Bapakku menangis! "Ayolah Laras… pulang…!"

Lihatlah! Bapak. Bapak dan Hendra ikut mencari dan masuk ke dalam hutan. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok. Tentara maupun pecinta alam.

"Hei… hei… aku di sini! Hei…!" mereka hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. "Hei… hei… aku di sini, Pak! Aku di sini, Hen!"

Bahkan mereka melangkahi puing-puing heliku. Apa-apaan ini?! Adakah yang menutupi pandangan mereka?

Ya Tuhan!

TUBUHNYA HANCUR berkeping-keping. Sudah tiada jelas lagi mana bagian depan atau belakang. Sudah menyatu dengan bumi. Hanya ada baling-baling panjang tergolek di tanah yang mungkin jadi satu-satunya tanda.

Ada sebuah kalung yang tertinggal dan tergeletak di atas tanah basah. Sebuah kalung tentara berpatrikan namaku; Laras Saraswati.

[ Berlanjut ke bagian 2 ]