Musik Bahasa Universal?

Sampai detik ini, hampir semua orang menganggap musik adalah bahasa universal. Maksudnya, dengan ngomong menggunakan bahasa musik maka siapa saja yang mendengarkan akan mudah untuk menerimanya. Entah itu si Dimitri dari Rusia, Kohl dari Jerman, John dari Inggris, Watanabe dari Jepang atau Jet Lee dari China. Insya Allah, (katanya) omongan dengan musik lebih bisa diterima dari pada bahasa-bahasa lain.

Suatu hari, terbersit dalam renungan saya untuk membuktikan hal tersebut. Benarkah musik bahasa universal? Benarkah semua orang bisa menerima musik dalam suatu komunikasi? Bukankah bahasa digunakan dalam suatu komunikasi? Setelah saya belajar musik (piano) kira-kira dua setengah tahun secara intensif di Yogya dengan seorang dosen Institut Seni Indonesia dan di Bandung di sebuah kursus musik ternama, belum simpul juga dalam pikiran saya bahwa musik adalah bahasa universal seperti yang sering didengung-dengungkan oleh kebanyakan pakar musik dan musisi.

Karna sampai detik ini pikiran saya tidak simpul juga bahwa musik adalah bahasa universal maka berani saya katakan bahwa musik bukan bahasa universal.

Kenapa?
Pertama, musik sendiri sebenarnya adalah bukan bahasa tetapi suara, voice, atau sound. Betul bahwa suara dapat digunakan dalam suatu komunikasi sehingga menjadi bahasa. Tetapi itu tidak otomatis bahwa musik merupakan bahasa karna musik adalah bentuk khusus dari suara yang dalam bahasa musik di sebut nada atau tone kata orang Inggris. Sedangkan suara yang digunakan dalam komunikasi atau berbahasa, tidak memiliki nada layaknya musik dengan teori-teori harmoni tertentu sehingga dapat disimpulkan bahwa musik dan bahasa hanyalah sebuah rumah yang bertetangga tanpa pertautan darah sebagai saudara. Artinya, musik dan bahasa tidak punya hubungan apa-apa. Musik bukan bahasa dan bahasa bukan musik. Lantas, bagaimana mungkin musik dapat menjadi bahasa? Universal lagi!!

Kedua, kalau toh musik tetap adalah bahasa universal, kenapa PBB (Persatuan Bangsa-bangsa/Union Nation) tidak memanfaatkannya sebagai bahasa utama dalam sidang-sidangnya? Bukankah ini memudahkan komunikasi dengan semua utusan atau delegasi yang datang dari negara-negara dengan bahasa yang berbeda?

Ketiga, musik jika dipaksakan juga untuk menjadi bahasa, tidak terbayangkan betapa kacaunya hidup ini. Bagaimana caranya saya harus mengatakan 'ini gunung' dengan bahasa musik? Bagaimana seandainya ternyata tidak dipahami sebagai 'ini gunung' tetapi 'kambingku gemuk'? Tentu orang yang mengartikan 'ini kambing gemuk' tidak bisa disalahkan karna memang musik tidak bisa berbahasa sehingga tidak akan mampu untuk menerangkan sesuatu secara jelas.

Keempat, jika musik adalah bahasa universal, kenapa juga musik terbagi dalam kotak jazz, dangdut, rock, pop, keroncong, klasik, tradisional Sunda, Afrika, Irlandia, Ambon, Bali, dan bermiliar-miliar kotak lainnya? Bukankah kotak-kotak ini menunjukan juga bahwa musik bukan sesuatu yang universal? Bagaimana mungkin Twilight Orchestra akan memainkan musik di tengah-tengah suku-suku Irian Jaya dengan alasan musik adalah bahasa universal? Kecuali Mas Addie MS emang mau bikin puyeng penduduk Irian Jaya. [Bandung, 29 Mei 2000. Zazuli]

Copyright © 29 Mei 2000 Zazuli